Rabu, 10 November 2010

HOWARD GARDNER ASAL BELITONG

HOWARD GARDNER
ASAL BELITONG
( Bedah Buku The Phenomenon, Laskar Pelangi )

Pengelolaan kelas Laskar Pelangi membuat pemerhati dan pengelola pendidikan, Haidar Bagir, berdecak kagum. Ada benih pemahaman konsep multiple intellegences dalam proses pengajaran di SD Muhammadiyah Belitong pada tahun 1970-an, siapa lagi kalau bukan Bu Muslimah, sang inspirator dari laskar pelangi, guru yang amat dicintai oleh murid-muridnya, sekaligus menjadikan muridnya menjadi gila ilmu, dan mampu meraih mimpi-mimpinya sekolah ke Sourbone, Prancis, serta keliling Eropa dan Afrika.

Bu Muslimah telah lebih dini menemukan paradigma multiple intelligences ( kecerdasan majemuk ). Padahal teori pendidikan itu baru diperkenalkan oleh Dr. Howard Gardner, profesor pendidikan Universitas Harvard, tahun 1983, dan baru populer di Indonesia sepuluh tahun terakhir. Bu Muslimah menerapkan teori multiple intelligences sepuluh tahun sebelum teorinya lahir. Sungguh mengagumkan guru desa dari pedalaman belitong yang hanya bermodalkan CINTA KASIH dan KEIKHLASAN.

Tentu saja konsep multiple intelligences tidak terlalu disadari oleh Bu Muslimah ketika mengajar. Juga belum dikenal oleh kepala sekolah SD tersebut ( Pak Harfan ) yang kata Andrea Hirata, bila berorasi sejam serasa semenit, karena saking memukaunya.

Ukuran kecerdasan bagi Bu Muslimah tidak tunggal, tapi beragam. Murid cerdas bukan hanya monopoli anak jago matematika, seperti Lintang. Sosok demikian hanya menunjukkan salah satu jenis kecerdasan : logical-mathematical intelligence.
Anak yang ulung mengarang dongeng, sekalipun kadang bualan, dan merdu melantunkan gurindam, semacam Mahar, juga berhak menyandang sebutan cerdas pada dimensi berbeda : linguistic dan musical intelligence.

Siswa yang lemot dalam berhitung, namun sok tahu, bermulut besar, banyak teori, selalu optimistis, dan punya jaringan luas seperti Kucai, yang karenanya terus-menerus jadi ketua kelas, tidak berhak dimaki, ” Bodoh!”. Ia memiliki sisi lain kecerdasan : interpersonal dan linguistic intelligence.

Begitulah potret anggota laskar pelangi. Bu Muslimah merangsang setiap jenis kecerdasan itu berkembang secara alamiah. Sesuai kapasitas otak, bakat, emosi, dan mental anak. Bu Mus mengajar dengan pendekatan demikian itu hanya dengan mengandalkan naluri kepedulian pada pendidikan anak.

Murid jenius seperti Lintang terus ditantang sampai titik maksimal, keliaran rasa ingin tahu dan daya jelajah otaknya. Ketika Lintang dalam tempo cepat mampu menjawab pertanyaan, ” 13 kali 6, kali 7 tambah 83 kurang 39 !”, Bu Mus selain memberi sanjungan yang membesarkan nyali, juga menambah dengan pertanyaan lebih menantang, ” 18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7.” Kurang 7 detik, Lintang mampu menjawab dengan tepat.

Sementara anak dengan bakat kepemimpinan seperti Kucai, ketika sempat kehilangan minat menjabat ketua kelas, lantas diyakinkan oleh Bu Mus, bahwa mengemban amanat kepemimpinan adalah tugas mulia dan didoakan banyak orang. Kucai pun kembali bersemangat.

Sampai-sampai Andrea Hirata membuat gambaran tentang Kucai, ” Dengan gabungan sifat kucai yang populis, sok tahu, oportunis,, plus otaknya yang lemot, Kucai memiliki semua kualitas menjadi seorang politisi.”

Sedangkan Harun yang terbelakang mental, setiap menjawab pertanyaan, baik jawaban salah maupun benar, dan lebih sering salah, selalu diacungi jempol oleh Bu Mus. Meski Harun tidak bisa menulis, tapi selalu diikutkan naik kelas, walau tanpa rapor.

Bagi Bu Mus, yang penting, Harun tetap semangat bersekolah, paling tidak, ia menjadi berkesempatan menikmati interaksi dan sosialisasi dengan anak-anak normal sebayanya. Kalaupun kualitas ilmu tidak membaik, paling tidak kualitas akhlaknya, tindak-tanduknya, dan tutur katanya terus bisa diperbaiki, sungguh suatu sifat bijak dan berkeadilan yang dimiliki oleh seorang guru desa yang bernama Bu Muslimah.

Menurut Haidar Bagir ” Dalam paradigma multiple intelegences, kenakalan murid tidak dilihat secara buruk.” Sebetulnya tidak ada anak nakal dalam arti negatif, itu hanya anak-anak yang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda.

Kata Thomas Amstrong, ” Itu bukan anak nakal, Anak yang kalau kita mengajar dia ngomong terus, berarti anak yang kecerdasan verbal-linguistiknya tinggi. Anak yang kalau kita mengajar lari-lari terus, juga bukan anak nakal, tapi anak yang kecerdasan fisikal-kinestetiknya tinggi. Anak yang kalau kita mengajar, dia tidak mendengarkan, melamun terus, itu kecerdasan interpersonalnya tinggi.”

Kemudian Haidar melanjutkan bahwa,” Mereka seolah-olah ingin mengatakan kepada gurunya, ” Saya ini senang diajar gerak. Kalau anda tidak mengajar saya banyak gerak, saya akan gerak sendiri. Saya ini senang ngomong, kalau nggak dikasih kesempatan ngomong, saya akan ngomong sendiri.”

Kini bukan zamannya lagi, orang tua atau guru memarahi anak atau murid mereka dengan mengatakan, ” Kamu cuma pinter bicara, tapi matemetika bodoh.” Setiap anak memiliki dimensi kecerdasannya sendiri-sendiri. Dan Bu Muslimah telah menerapkan prinsip, yang belakangan dipolpulerkan Howard Gardner itu, sejak tahun 1970 an di kampung pedalaman pulau Belitong.

Cinta kasih membuat Bu Muslimah menjadi Howard Gardner sekian puluh tahun sebelum Gardner menelorkan teorinya: Multiple Intelligences.

Setiap anak mempunyai kecerdasan sendiri-sendiri. Semua jenis kecerdasan harus dirangsang agar berkembang secara alamiah. Sesuai kapasitas otak, bakat, emosi, dan mental anak.

Tak ada anak bodoh dan nakal. Kenakalan anak tidak dilihat secara buruk. Itu hanyalah ekspresi anak mengajari gurunya, ” Bila mau membuat saya pintar beginilah caranya.”

Itulah sebagian dari kepiawaian dari seorang guru desa bernama Bu Muslimah yang sungguh mengagumkan beberapa pakar dan pemerhati pendidikan dalam teknik mengajar, belum lagi bagaimana Bu Muslimah membuat muridnya GILA ILMU seperti Andrea Hirata.

Sungguh suatu pelajaran berharga bagi para pembina pendidikan yang ada di negeri tercinta ini, apakah mampu menjadikan fenomena ini menjadi cikal bakal berubahnya arah pendidikan di Indonesia. Atau mereka tetap asyik dengan teknik yang kaku, sebagaimana yang terjadi saat ini, senang mengejar nilai tinggi dan medali ?.

Dibedah oleh : Arman Andi Amirullah
Staf Dit.Pemb.TK dan SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar